06.02 | Posted in


Makin menipisnya cadangan energi tak terbarukan untuk pembangkit listrik membuat para peneliti bekerja keras menemukan alternatif pengganti yang dapat memenuhi kebutuhan energi listrik bagi masyarakat. Salah satunya adalah mengembangkan mikroba yang bisa menghasilkan listrik.

GAGASAN untuk memanfaatkan mikroba sebagai pembangkit listrik memang terdengar ekstrem. Namun itu ternyata bukanlah hal yang mustahil. Peneliti dari Universitas Harvard, Prof Peter Girguis, kini sedang mengembangkan teknologi pembangkit listrik dari mikroba. Tentu daya listrik yang dihasilkan tak sebesar pembangkit listrik konvensional.

Daya listrik yang dibangkitkan masih terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, namun sudah memadai untuk memenuhi kebutuhan energi paling mendasar di zaman teknologi komunikasi, yaitu baterai telepon seluler.
Ya, model pembangkit listrik mikroba yang masih dalam uji coba di laboratorium itu mampu mengisi baterai ponsel, atau menyalakan sebuah lampu LED.

Bakteri yang dapat dimanfaatkan adalah jenis anaerob, yakni bakteri yang berkembang di dalam lingkungan tanpa oksigen. Penelitian menunjukkan, bakteri yang paling efektif dalam membangkitkan listrik adalah bakteri anaerob yang hidup dari unsur logam, belerang, atau gas methan.

Menemukan bakteri-bakteri seperti ini sebetulnya relatif mudah. Kita dapat hanya bermodalkan cangkul, dan menggalinya di kebun di belakang rumah.
Menurut Prof Girguis, tanah yang diberi kompos merupakan makanan ideal bagi bakteri anaerob tersebut. ’’Bakteri ini punya keunikan metabolisme yang dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik.
Karena sebagai produk buangan dari metabolismenya, bakteri ini melepaskan elektron. Elektron inilah yang dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik,’’ ujarnya.

Secara sederhana, Girguis menggambarkan model sel pembangkit listrik mikroba itu. Pada tanah yang tak mengandung oksigen, kita tanam sebuah elektroda seperti batang grafit dari pensil atau baterai bekas. Pada elektroda inilah bakteri akan berkembang biak.

Setelah itu, kita pasang sebuah batang grafit lain di atas permukaan tanah, yang bertindak sebagai katoda. Jika elektroda dan katoda dihubungkan mengunakan kabel yang dilengkapi sirkuit saklar, kita memiliki sumber listrik. Saklar hanya berfungsi menyambung atau memutus aliran listriknya.
Geocacter Salah satu spesies bakteri anaerob yang bisa digunakan untuk menghasilkan listrik adalah Geobacter metallireducens, yang pertama kali ditemukan di tambang batu bara di Sungai Potomac, Washington DC, tahun 1987.

Geobacter mempunyai kemampuan berpindah, dengan cara menggerakkan elektron dalam metal. Kemampuan ini menjadikan bakteri tersebut dapat mengurai limbah, sekaligus menghasilkan listrik.

Geobacter adalah mikroba pertama yang mampu mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida (CO2). Ia mendapat tenaga dengan memanfaatkan oksida dari besi. Dengan cara yang sama seperti manusia, ia menghirup oksigen.

Spesies ini juga dapat digunakan mengatasi pencemaran lingkungan. Misalnya, mengurai tumpahan minyak di perairan menjadi CO2 yang tak berbahaya, mengubah kondisi lingkungan, dan mempercepat laju degradasi kontaminan. Geobacter juga punya kemampuan menyingkirkan kontaminan logam radioaktif dari perairan.

Tim Riset NASA saat ini juga mengembangkan Geobacter sebagai bahan bakar, yang kemudian dapat memiliki daya listrik. Semua jenis sel bahan bakar menghasilkan listrik, dengan memproduksi dan mengendalikan arus elektron.
Sel-sel konvensional, termasuk menggunakan pintalan dan dalam beberapa mobil prototipe, memperoleh elektron dengan melepas atom hidrogen. Dalam melakukan hal itu, sel-sel bahan bakar harus diberi persediaan hidrogen secara tetap.

Sel bahan bakar mikroba memperoleh elektron dari limbah organik.. Bakteri hidup dari limbah sebagai bagian dari proses pencernaan mereka. Geobacter, menurut peneliti NASA, dapat dibujuk untuk menyampaikan elektron secara langsung kepada elektroda sel bahan bakar ke dalam suatu sirkuit.

Ketika elektron dialirkan sepanjang sirkuit, mereka menghasilkan listrik. Sel bahan-bakar mikroba ini telah dicoba di Pennsylvania University, untuk menghasilkan listrik, pada saat proses memurnikan limbah cair domestik..
Sel Serabut Untuk membuat gagasan ini menjadi bentuk praktis, peneliti harus mempunyai suatu bentuk yang efisien dan sangat ringkas. Bahan bakar sel tidak bisa dibentuk dengan banyak ruang dalam ukuran yang luas.

Untuk kebutuhan ini, tim peneliti mempertimbangkan sel bahan bakar serabut yang dikemas ketat, masing-masing bakal dijadikan sel bahan bakar dalam kemasan all in one.

Masing-masing serabut terdiri atas tiga lapisan, seperti tiga untai jerami, satu di dalam serabut lainnya. Masing-masing lapisan terdiri atas kutub positif (luar), electrolyte- membrane (tengah), dan katoda (dalam).

Saluran dari cairan limbah akan dipompa melewati lapisan luar, di mana Geobacter dapat mengikat elektron dan memindahkannya ke kutub positif, yaitu ke dalam sirkuit, kemudian diteruskan ke katoda pada lapisan dalam.

Bukan mustahil, suatu saat akan diciptakan pembangkit listrik bertenaga bakteri yang merupakan sumber energi terbarukan. Temuan ini juga bakal menjadi solusi bagi kesehatan lingkungan, karena mampu mengurai berbagai limbah berbahaya.

Uji coba sel pembangkit listrik mikroba di negara-negara berkembang seperti Indonesia memang sangat diperlukan. Sebab sasaran utama pengembangan sel pembangkit listrik mikroba adalah memerangi kelangkaan listrik di negara berkembang.

Bayangkan, betapa nikmat jika listrik hanya memerlukan mikroba untuk menghidupkannya. Kita harus memanfaatkan mikroba menjadi salah satu produk yang berguna. (Dela, dari berbagai sumber-32)

Category:
��
06.02 | Posted in






SATU lagi, teknologi baterai baru diluncurkan ke pasaran. Namanya Stair, akronim dari St Andrews Air. Baterai ini jauh lebih ringan dan lebih ’’bandel’’ daripada teknologi baterai lithium ion biasa.

Tidak seperti baterai biasa, baterai Stair tidak menggunakan bahan lithium kobalt oksida, tetapi menggantinya dengan karbon berpori serta oksigen yang diserap dari udara.

Alhasil, baterai ini akan mengurangi beban pengguna laptop, misalnya saat bepergian ke luar rumah. Versi mini baterai ini diklaim mampu menyimpan energi 10 kali lebih banyak daripada baterai sel biasa. Bahkan umurnya pun 10 kali lebih lama ketimbang baterai konvensional.

Jadi, apabila sebuah baterai bisa menghidupkan laptop selama sekitar tiga jam, secara teoritis baterai Stair mampu menghidupkan perangkat yang sama hingga 30 jam.

Kendati demikian, Stair juga membutuhkan re-charge. Teknik mengisi ulangnya adalah dengan menyerap oksigen dari udara. Selanjutnya, oksigen akan bereaksi dengan karbon yang ada di dalam baterai, sehingga akan menimbulkan energi.
Faktor Penting ’’Keunggulan baterai ini adalah ukurannya yang jauh lebih kecil dan ringan, sehingga memudahkan kita saat perjalanan,’’ ungkap Peter Bruce, guru besar dari Jurusan Kimia University of St Andrew, sebagaimana dikutip dari situs Telegraph.

Menurut Peter, ukuran dan berat baterai juga merupakan faktor penting dalam mengembangkan alternatif sumber energi bagi berbagai perangkat seperti mobil listrik. ’’Setiap orang yang mengembangkan mobil listrik pasti ingin agar bobot baterai dapat dikurangi sebisa mungkin,’’ ujarnya.

Tak hanya itu, kata Peter, penyimpanan juga sangat penting untuk mengembangkan energi. Misalnya untuk baterai bertenaga surya maupun bertenaga angin, karena sumber tenaga tersebut tidak akan tersedia sepanjang hari.. Lain halnya dengan udara, yang selalu tersedia kapanpun.

Yang menakjubkan lagi, baterai mini ini dianggap cocok sebagai alternatif energi untuk menghidupkan berbagai perangkat elektronik. Jadi bukan sekadar laptop saja, melainkan juga ponsel hingga mobil listrik.

Sayangnya, baterai Stair masih belum begitu populer, dan diperkirakan baru bisa hadir secara luas di masyarakat sekitar lima tahun ke depan. (Andre Yanuar Christanto, Ilmu Komputer Unika Soegijapranata Semarang-32)



Category:
��